Akademisi, pemangku kebijakan, aktivis, dan mahasiswa diskusikan MBKM yang inklusif

Sejak Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi menerapkan kebijakan Merdeka Belajar, pembelajaran di institusi pendidikan semakin beragam dan meluas. Untuk perguruan tinggi, program Merdeka Belajar memiliki Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM). Program Kampus Merdeka memuat program pertukaran pelajar, Kampus Mengajar, Magang, KKN Tematik, Pejuang Muda, Proyek Kemanusiaan, Riset, Studi Independen, dan Wirausaha.

Dari sekian banyak program tersebut, di mana inklusi-disabilitas seharusnya ditempatkan? Pertanyaan ini muncul berkaitan luasan program Kampus Merdeka yang tentunya juga harus dapat diakses oleh mahasiswa dengan disabilitas.

Program Studi (Prodi) Pendidikan Bahasa Inggris Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Brawijaya (UB) menggelar webinar dengan tajuk ‘Program MBKM yang Inklusif Bagi Mahasiswa dengan Disabilitas’, Rabu (10/11/2021). AIDRAN menjadi lembaga yang bekerja sama dalam penyelenggaraan webinar tersebut.

Webinar ini mengundang lima narasumber untuk mendiskusikan dan menyampaikan pandangan mereka. Mereka adalah anggota Komisi D DPRD Kota Malang, Amithya Ratnanggani SS; Wakil Dekan FIB Bidang Akademik UB, Hamamah PhD; CEO Kartunet, Dimas Prasetyo Muharam SHum; Research Fellow La Trobe Law School & President of AIDRAN Dr Dina Afrianty; Kaprodi Pebasis FIB UB Dr Ive Emaliana MPd; dan Alumni Filkom UB, Adhi Setiawan.

Selain pemateri-pemateri tersebut, webinar juga didahului dengan sambutan Dekan FIB UB, Prof. Dr. Agus Suman yang menjelaskan program MBKM. Ia juga menjabarkan tujuan MBKM yang berkaitan dengan peluasan pengalaman pembelajaran bagi mahasiswa.

Ia menyinggung bagaimana seharusnya MBKM juga dapat dijangkau mahasiswa dengan disabilitas. “Ini perlu kita kuatkan mulai sosialisasi, pendaftaran, pelaksanaan hingga evaluasi sehingga program MBKM jadi lebih inklusif dan aksesibel bagi seluruh mahasiswa Indonesia khsusunya dengan disabilitas,” dalam sambutannya.

Amithya Ratnanggani, SS., anggota Komisi D DPRD Kota Malang yang juga sedang menjalani studi pascasarjana di Sekolah Pascasarjana UB, menjelaskan bahwa MBKM sejatinya tidak memuat apapun yang diskriminatif.

“Dari cerminan dasar hukum yang ada di Indonesia sebetulnya tidak diskriminasi dalam pelayanan pendidikan,” jelas Amithya. Ia juga menegaskan tentang perlunya penyelenggaraan yang terukur dan benar-benar sesuai dengan kebutuhan peserta didik, baik penyandang disabilitas atau pun tidak.

Amithya juga menceritakan bahwa di Kota Malang telah ada Peraturan Wali Kota Malang Nomor 5 Tahun 2021 tentang Pedoman Pelaksanaan Penerimaan Peserta Didik Baru pada Taman Kanak-Kanak, Sekolah Dasar, dan Sekolah Menengah Pertama. Perwali ini mengacu pada Permendikbud Nomor 1 Tahun 2021 Penerimaan Peserta Didik Baru yang menekankan kuota penerimaan siswa dengan disabilitas bagi setiap lembaga dan tingkatan pendidikan.

Penerapan kebijakan itu, masih kata Amithya, juga muncul kendala, di mana kuota 15 persen yang diatur belum bisa memfasilitasi seluruh lapisan masyarakat yang di dalamnya seluruh penyandang disabilitas.

Discover more from AIDRAN

Subscribe now to keep reading and get access to the full archive.

Continue reading