Catatan Webinar Series III: Komisi Nasional Disabilitas dan Prinsip-Prinsip Konvensi Internasional Hak Penyandang Disabilitas

Terlepas dari sukacita atas kejelasan dari penantian selama empat tahun, pembentukan KND melalui Peraturan Presiden ini dilihat masih mengandung sejumlah permasalahan. Sebelumnya, ada kekhawatiran terhadap proses pembentukan rancangan perpres.

Selasa, 30 Juni 2020

Lahirnya kebijakan terkait Komisi Nasional Disabilitas/KND sesuai mandat dari Undang-undang No. 8 Tahun 2016, mendapat respon beragam dari masyarakat penyandang disabilitas dan kelompok masyarakat lainnya.

Webinar seri ketiga yang diselenggarakan oleh Pusat Studi dan Layanan Disabilitas Universitas Brawijaya (PSLD UB) yang bekerjasama dengan Australia-Indonesia Disability Research and Advocacy Network (AIDRAN) dan didukung oleh Knowledge Sector Initiative (KSI) mengangkat sebuah topik yang melibatkan pemerhati isu disabilitas, organisasi penyandang disabilitas,  dan unsur pemerintah untuk mendiskusikan permasalahan seputar kontroversi dari lahirnya Peraturan Presiden No. 68 tahun 2020 tentang Komisi Nasional Disabilitas/KND.

Empat narasumber dalam Webinar kali ini adalah:

  1. Eva Rahmi Kasim, Direktur Rehabilitasi Sosial Penyandang Disabilitas Kementerian Sosial Republik Indonesia  
  2. Dr. Saharudin Daming, Akademisi, Advokat, Mantan Komisioner Komnas HAM 
  3. Maulani Agustiah Rotinsulu, Ketua umum Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia HWDI
  4. Beka Ulung Hapsara, Komisioner Pendidikan dan Penyuluhan Komnas HAM.

Webinar diikuti oleh sekitar 100 peserta melalui platform Zoom dan peserta lain yang mengikuti kegiatan ini secara live streaming melalui Facebook Page AIDRAN. Diskusi ini didampingi oleh Juru Bahasa Isyarat selama pelaksanaannya dan menyediakan closed-caption dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris, karena acara ini juga dihadiri peserta dari luar Indonesia.

Terlepas dari sukacita atas kejelasan dari penantian selama empat tahun, pembentukan KND melalui Peraturan Presiden ini dilihat masih mengandung sejumlah permasalahan. Sebelumnya, ada kekhawatiran terhadap proses pembentukan rancangan perpres. Draft terakhir Perpres KND sempat mendapat penolakan dari sejumlah organisasi penyandang disabilitas tingkat nasional karena draft tersebut disusun tanpa melibatkan secara aktif penyandang disabilitas, dan secara substansi tidak sesuai dengan amanat UU No. 8/2016 yang sudah melihat disabilitas sebagai isu HAM, bukan lagi sekadar isu kesejahteraan sosial. 

Oleh karena itu, tujuan diskusi webinar kali ini adalah untuk melihat bagaimana pembentukan peraturan tentang KND telah sejalan dengan prinsip “rights-based”  yang tertuang dalam UU Disabilitas 2016.

Dr. Saharuddin Daming, seorang mantan komisioner Komnas HAM dan juga advokat disabilitas menyampaikan perihal beberapa pasal krusial yang perlu diperhatikan dalam Perpres No. 68/2020 tersebut. Setidaknya ada 9 pasal yang harus diperhatikan dan dikritisi, baik dari segi normatif, sosiologis maupun filosofis.

Pasal 9 dipandang oleh Dr Daming berpotensi menjadi masalah saat diimplementasikan karena keberadaan Sekretariat Jenderal KND yang berada di bawah sebuah Kementerian. Walaupun tidak ditetapkan nama Kementerian pada pasal 9, namun pada Pasal 1 (3) disebutkan “Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan pemerintahan di bidang sosial.” Oleh karena itu maka menjadi jelas bahwa Sekretariat KND akan berada di bawah Kementerian Sosial. Dari pengalaman yang terdahulu, Dr Daming melihat sistem ini akan mengarah pada terciptanya dualisme dan berpotensi terjadinya konflik kepentingan antar lembaga. Selain itu, pasal 9 ini tidak dimandatkan dalam UU No. 8/2016, baik secara eksplisit maupun implisit. 

Pasal 14 yang mengatur bahwa dalam menetapkan anggota KND, Presiden mendelegasikan kepada Menteri Sosial, maka pembentukan panitia seleksi anggota KND akan dilakukan oleh Menteri Sosial. Hal ini berpotensi menghilangkan independensi karena mekanisme seperti ini mengindikasi proses yang didominasi oleh Kemensos (“Kemensossentrik”). Selain itu, pasal 17 dan 18 yang mengatur mekanisme penentuan calon dan penetapan anggota definitif KND akan dilaksanakan melalui Menteri Sosial. Pasal 22 lebih jauh mengatur bahwa jika terjadi kekosongan anggota KND, Peraturan Presiden mengatur bahwa Menteri Sosial akan mengusulkan nama calon pengganti kepada Presiden.  

Dr Daming melihat besarnya wewenang yang diberikan kepada Kementerian Sosial, yang di dalam Peraturan Presiden disebut sebagai kementerian yang membidangi masalah sosial. Hal ini menunjukan bahwa disabilitas masih dilihat sebagai masalah sosial. Kekhawatiran bahwa pendekatan yang akan dipakai akan lepas dari aspirasi prinsip pendekatan hak asasi manusia menjadi semakin kuat dengan adanya sejumlah aturan tersebut. 

Ibu Maulani A. Rotinsulu, selaku ketua umum HWDI, dan juga mewakili Koalisi Organisasi Masyarakat Penyandang Disabilitas, menyampaikan beberapa catatan terkait lahirnya Perpres No. 68/2020. Catatan ini juga telah disampaikan ke publik dan kepada pemerintah terkait dalam bentuk petisi yang diluncurkan pada tanggal 23 Juni 2020. Petisi ini didukung oleh sekitar 161 organisasi penyandang disabilitas dari seluruh Indonesia, mulai tingkat nasional hingga tingkat desa. Menurut Maulani, terdapat 5 permasalahan terkait lahirnya Perpres No. 68/2020 yang menjadi fokus dari KOMPD. .   

Pertama, konsep kelembagaan KND mencerminkan langkah mundur pendekatan social model dan penggunaan perspektif Hak Asasi Manusia terhadap disabilitas sesuai dengan ketentuan dalam UU 8/2016. Kedua, KND tidak independen karena secara hubungan kelembagaan akan tercipta konflik kepentingan dengan Kementerian Sosial. Ketiga, desain keanggotaan membatasi partisipasi dan representasi penyandang disabilitas. Keempat, mekanisme kerja minim pelibatan organisasi penyandang disabilitas dalam pelaksanaan kerja KND. Kelima, proses pembentukan anggota KND yang tidak transparan dan partisipatif.

Maulani mengingatkan bahwa disabilitas merupakan isu lintas sektoral. Indonesia telah meratifikasi CRPD, yang dasarnya adalah Hak Asasi Manusia (Human Rights-based), dimana disabilitas bukan hanya soal penanggulangan tetapi juga pembangunan. Selanjutnya, ia menyarankan jika kesekretariatan KND harusnya berada di bawah Komnas HAM.

Beberapa gagasan perubahan yang diusulkan oleh Maulani yang juga menjadi bagian dari Petisi dapat dilihat pada tabel di bawah ini (Tabel 1). Selain itu, sebagai rencana tindak lanjut, Koalisi OPD telah mengajukan revisi terhadap Perpres No. 68/2020, dan akan mengajukan uji materiil dan formil ke Mahkamah Agung jika tidak ada respon dari pemerintah dalam waktu yang ditentukan. 

No Aspek Gagasan Pasal Perpres No.68/2020 Gagasan Perubahan (Pasal) yang diusulkan
1 Penambahan Pasal Pasal 14 ayat (3)

 

Pemilihan panitia seleksi calon anggota KND dilakukan secara transparan, profesional, dan akuntabel dengan mempertimbangkan masukan dari Organisasi Penyandang Disabilitas terkait dengan kelayakan calon anggota panitia seleksi calon anggota KND.

2 Penambahan Pasal Pasal 30 ayat (2)

 

Penunjukan sebagaimana dimaksud ayat (1) dilakukan secara transparan, profesional, dan akuntabel dengan mempertimbangkan masukan dari Organisasi Penyandang Disabilitas terkait dengan kelayakan calon Ketua, Wakil Ketua, dan Anggota KND.

3 Revisi Pasal Pasal 9 ayat (6)

 

Materi muatan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) ditetapkan setelah mendapat persetujuan tertulis dari menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang aparatur negara.

Pasal 9 ayat (6)

 

Materi muatan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) ditetapkan setelah mempertimbangkan masukan dari Organisasi Penyandang Disabilitas dan mendapat persetujuan tertulis dari menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang aparatur negara.

Tabel 1. Gagasan Perubahan (Koalisi Organisasi Penyandang Disabilitas, 2020)

Komisi Nasional Disabilitas merupakan satu wadah dari bentuk ratifikasi CRPD oleh Indonesia yang telah dilegalkan dengan adanya UU No. 8/2016 dan peraturan teknis lainnya. Menurut, Beka Ulung Hapsara, Komnas HAM juga mengkritisi Perpres ini dan memastikan KND tidak menjadi penghambat dalam pemenuhan hak-hak penyandang disabilitas oleh negara. Komnas HAM telah mengambil sejumlah langkah untuk  mendengarkan aspirasi dari masyarakat sebelum menyampaikan surat kepada Presiden sebagai bentuk posisi resmi lembaga ini. 

Ada 4 hal yang menjadi pokok tinjauan dari Komnas HAM terhadap Perpres No. 68/2020 ini. Pertama, urgensi dari pembentukan Komisi Nasional Disabilitas. Selain merupakan kelompok rentan terkait perlindungan hak, penyandang disabilitas masih menerima stigma,sehingga perlu upaya lebih dalam mengadvokasi hak-hak penyandang disabilitas. Pasal 33 CRPD tentang implementasi dan pengawasan nasional, merupakan dasar dalam merumuskan dan membentuk KND. 

Kedua, proses penyusunan perpres. Partisipasi publik (masyarakat penyandang disabilitas) dalam proses perumusan kebijakan perlu diperhatikan sesuai dengan ketentuan dasar hukum yang berlaku (misal Pasal 96 UU No.12/2011, Pasal 4 ayat 3 ICRPD, Pasal 2 UU No. 8/2016). Munculnya banyak kritik dari masyarakat menunjukkan jika pemerintah kurang memperhatikan unsur partisipasi publik. 

Ketiga, isi dan substansi perpres. KND seharusnya merupakan lembaga independen yang bekerja atas nama HAM dan menjadi mitra penting bagi Komnas HAM, selayaknya Komnas Perempuan, KPAI, dan Ombudsman. Selain itu, sebagai lembaga HAM, independensinya sangat penting mengacu pada Paris Principles dan dapat menjadi lembaga yang memperkuat tugas fungsi dan wewenang Komnas HAM secara umum. Selanjutnya, masalah penempatan kesekretariatan KND di bawah lembaga eksekutif (yang merupakan objek pengawasan KND) perlu dipeertimbangkan kembali, karena isu disabilitas merupakan isu multisektoral jika dipandang dari perspektif HAM (Human Rights-based approach), bukan hanya isu sosial. Poin terakhir bahwa menempatkan Sekjen di bawah lembaga HAM yang sudah ada merupakan pilihan yang lebih baik. Dan seandainya harus di bawah lembaga eksekutif, maka lembaga seperti Kemeko, Kemensetneg, dan KemenkumHAM akan lebih relevan dengan isu HAM dan disabilitas. 

Keempat, langkah-langkah yang dapat dilakukan bersama. Komnas HAM akan memberikan pertimbangan, masukan bagaimana seharusnya merumuskan peraturan presiden tentang KND ini yang diajukan dalam bentuk permohonan revisi perpres. 

Sebagai perwakilan dari unsur pemerintah, Eva Rahmi Kasim, mengklarifikasi 3 hal terkait masalah dan tanggapan dari masyarakat tentang Perpres No. 68/2020. 

Pertama-tama, terkait keterlibatan penyandang disabilitas dalam pembentukan perpres, disampaikan bahwa proses pembentukan KND dimulai pada tahun 2016. Setelah lahirnya UU No. 8/2016, draft perpres telah dikonsultasikan dan melibatkan organisasi penyandang disabilitas bersama-sama dengan KemenPANRB. Menurut Eva, mekanisme tata kerja kementerian dan  lembaga dikeluarkan oleh KemanPANRB. Selanjutnya, masalah kesekretariatan yang berada di bawah Kemensos, dimana dikhawatirkan akan mengurangi independensi, Eva menjelaskan bahwa dalam pasal 8 Perpres No. 68/2020 disebutkan jika tugas sekretariat hanya mendukung secara teknis dan administratif kepada KND. Dalam perpres ini juga disebutkan jika aturan selanjutnya terkait KND akan diatur oleh Komisioner terpilih nantinya, sehingga pemerintah tidak akan ikut mengintervensi. Selain itu, Presiden memiliki kewenangan kepada siapa tugas ini didelegasikan. KND juga akan bertanggung jawab langsung kepada Presiden, bukan kepada Menteri Sosial. Terkait masalah keanggotaan, partisipasi penyandang disabilitas dibatasi karena memperhatikan prinsip inklusifitas, karena jika seluruh anggota adalah penyandang disabilitas, maka ini adalah sebuah eksklusifitas. Jika ada kekhawatiran adanya kepentingan pemerintah dan adanya unsur pemerintah dalam keanggotaan KND, Eva menganggap jika hal ini merupakan asumsi yang terlalu dini, karena anggota KND dari unsur pemerintah adalah pejabat setingkat Eselon II. Selain itu, sudah ada lembaga lain dengan tupoksi yang hampir sama seperti KND, yaitu Komnas HAM dan Ombudsman dalam penanganan isu hak penyandang disabilitas, karena itu keberadaan KND dilekatkan dengan Kemensos. 

Sebagai tindak lanjut, Kemensos akan segera mengimplementasikan perpres ini. Hal ini akan diawali dengan usulan anggaran untuk tahun 2020/2021, pembentukan Sekretariat KND melalui Permensos dan atas persetujuan KemanPANRB, dan seiring dengan terbentuknya sekretariat, Kemensos juga akan menyiapkan sarana prasarananya. Lokasi kantor Sekretariat KND tidak akan berada dalam satu gedung dengan Kemensos, sehingga independensi dan transparansi dapat terjaga. Sekretariat inilah yang akan membentuk panitia seleksi dan memilih sebanyak 14 orang calon anggota Komisioner KND yang diusulkan oleh Menteri Sosial. Namun, pemilihan calon akan dipastikan terbuka dan transparan agar publik juga bisa ikut menilai apakah mereka layak menjadi komisioner. Dalam menjalankan tugasnya, Komisioner KND akan dibantu oleh 4 kelompok kerja yang  program, tupoksi, dan hal terkait lainnya akan ditentukan oleh komisioner terpilih, bukan oleh sekretariat maupun Kemensos. 

Berdasarkan berbagai respon yang telah diberikan oleh unsur penyandang disabilitas, lembaga HAM, dan unsur pemerintah, dapat ditarik kesimpulan jika sesungguhnya masih ada banyak pertanyaan yang belum terjawab. Kekhawatiran dan keraguan masyarakat penyandang disabilitas juga muncul berdasarkan dari pengalaman yang dialami selama ini. Namun, di sisi lain, pemerintah juga berupaya semaksimal mungkin untuk menjawab setiap kekhawatiran yang muncul dengan tetap membuka komunikasi dengan para pihak yang berkepentingan. Diskusi dan masukan terhadap pelaksanaan perpres ini masih perlu banyak dilakukan, sehingga pemajuan penghormatan, perlindungan  dan pemenuhan hak penyandang disabilitas di Indonesia dapat dipenuhi dan terlaksana dengan baik.

Discover more from AIDRAN

Subscribe now to keep reading and get access to the full archive.

Continue reading