Tangan di atas laptop sedang mengetik

Catatan Webinar Series II: Akomodasi Layak dan Pembelajaran Mahasiswa Difabel di Masa Pandemi

Sistem pembelajaran daring memberikan tantangan dan konsekuensi yang tidak pernah dibayangkan sebelumnya. Proses belajar tatap muka pada masa pra-pandemic sudah memberikan tantangan besar bagi penyandang disabilitas akibat keterbatasan dukungan dari lembaga pendidikan dan pemerintah. Lalu, apakah tantangan tersebut menjadi jauh lebih besar dengan proses belajar daring?

Krisis akibat pandemi Covid 19 telah memaksa universitas dan perguruan tinggi untuk menutup kampus-kampus mereka dan memindahkan metode pembelajaran konvensional (tatap muka) ke mode virtual/daring. 

Webinar seri kedua yang diselenggarakan oleh Pusat Studi dan Layanan Disabilitas Universitas Brawijaya (PSLD UB) yang bekerjasama dengan Australia-Indonesia Disability Research and Advocacy Network (AIDRAN) dan didukung oleh Knowledge Sector Initiative (KSI) mengangkat sebuah topik yang melibatkan mahasiswa disabilitas dan dosen untuk mendiskusikan pengalaman belajar mengajar secara online selama dua bulan pertama pandemi Covid-19. 

Empat narasumber dalam Webinar kali ini adalah:

  1. Fira Fitria, mahasiswa dengan Cerebral Palsy yang sedang menjalani program studi pascasarjana di Universitas Airlangga.
  2. Aditya Ilham Pratama, mahasiswa disabilitas Tuli dari Universitas Brawijaya. 
  3. Profesor Myrtati Dyah Artaria, guru besar FISIP dan pencetus Airlangga Inclusive Learning (AIL) Universitas Airlangga.
  4. Alies Poetri Lintangsari, S.S., M.Li., dosen FIB dan kepala bidang layanan PSLD Universitas Brawijaya.

Webinar diikuti oleh lebih dari 65 peserta. Diskusi ini didampingi oleh Juru Bahasa Isyarat selama pelaksanaannya dan adanya closed-caption.

Sistem pembelajaran daring memberikan tantangan dan konsekuensi yang tidak pernah dibayangkan sebelumnya. Proses belajar tatap muka pada masa pra-pandemic sudah memberikan tantangan besar bagi penyandang disabilitas akibat keterbatasan dukungan dari lembaga pendidikan dan pemerintah. Lalu, apakah tantangan tersebut menjadi jauh lebih besar dengan proses belajar daring? Salah satu tantangan yang mungkin muncul di antaranya adalah kurangnya pemahaman tenaga pendidik tentang penggunaan teknologi untuk menjamin proses belajar yang aksesibel untuk mahasiswa disabilitas.  

Dengan tujuan untuk mengeksplorasi berbagai permasalahan yang dihadapi mahasiswa disabilitas, diskusi webinar ini dirancang untuk mempertemukan mahasiswa disabilitas dan akademisi untuk mengetahui dan mendengar secara langsung pengalaman belajar mahasiswa tersebut dengan sistem daring. Memahami pengalaman mahasiswa dengan disabilitas dalam pembelajaran online dapat membantu mengidentifikasi strategi potensial yang dapat digunakan lembaga pendidikan dan tenaga pendidik, maupun pemerintah, dalam memberikan layanan dukungan yang sesuai. 

Fira, yang saat ini sedang menyelesaikan program pascasarjana jurusan Magister Kebijakan Publik, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Airlangga Surabaya, yang juga seorang penyandang Cerebral Palsy (CP) tipe Spastic, memulai diskusi dengan menyampaikan pengalamannya selama dua bulan belajar daring. ira mengatakan saat sebelum pandemi ia mendapatkan dukungan baik dari universitas maupun dari pihak luar dalam bermobilitas di  kampus dan juga dalam mobilitasnya dari kediamannya ke kampus. Fakultas tempat Fira belajar telah menyediakan relawan dan juga kursi roda untuknya, sehingga Fira tidak perlu membawa kursi roda miliknya. 

Selama ini, Fira menggunakan notebook miliknya dalam proses belajar. Tipe CP yang dimiliki Fira membuat dirinya hanya dapat mengetik dengan menggunakan tiga jari saja. Oleh karena itu, notebook  yang portable  dan relatif ringan sangat membantu. Terkait materi yang tertulis di papan tulis, Fira memanfaatkan HandPhone nya untuk memotret materi tersebut. Setelah itu, ia menyalinke buku catatannya saat waktu luang. Dengan cara tersebut, Fira tidak tertinggal pelajaran. 

Masalah yang Fira hadapi selama pembelajaran daring adalah keterbatasan waktu dalam pengerjaan tugas. Selama pandemi, beberapa kali ia menghadapi persoalan akibat notebook yang tidak berfungsi normal. Penyampaian dosen dalam kuliah daring yang relatif cepat menyulitkan Fira karena ia sangat lambat dalam mengetik. 

Ketika Fira bekerja dalam tekanan (misal deadline pengumpulan tugas yang ketat) kondisi psikisnya akan terganggu dan berpengaruh pada produktivitasnya. Selama proses belajar daring, Fira banyak menerima bantuan dari teman-temannya. Namun, kebutuhan jaringan internet sangat berpengaruh pada kondisi keuangannya. Biaya belajar menjadi lebih mahal dari saat pra-.pandemi. 

Pengalaman Adit, seorang mahasiswa S1 jurusan Statistika, FMIPA Universitas Brawijaya dan juga penyandang Tuli, sedikit berbeda dengan Fira. Pada pertengahan April lalu, Adit telah menyelesaikan ujian skripsinya dan lulus sebagai seorang Sarjana Statistik. Selama masa pandemi, ia banyak didukung oleh dosen pembimbing, relawan pendamping/juru bahasa isyarat (JBI), keluarga dan juga teman sekelasnya. 

Kendala yang dihadapi Adit selama penyelesaian skripsi ini tidak terlalu signifikan. Hal ini menurut Adit, karena dosen pembimbing dan dosen penguji sangat memahami kondisi Adit. Mereka  banyak memberikan masukan serta informasi tentang pelaksanaan ujian secara daring. Komunikasi yang baik dengan dosen menjadi kunci keberhasilan Adit. Hal penting lainnya adalah peran pendamping JBI serta teman seangkatan yang memahami tentang statistik, yang selalu membantunya dalam penyelesaian dan pelaksanaan ujian skripsi. 

Masalah yang diungkapkan oleh Adit hanyalah masalah ketersediaan koneksi jaringan internet. Hal ini sangat berpengaruh pada pelaksanaan ujian. Penggunaan teknologi dan ketersediaan jaringan internet yang baik sangat dibutuhkan karena Adit berkomunikasi dengan bahasa isyarat. Artinya, ada proses tambahan dalam berkomunikasi dan ini membutuhkan koneksi internet yang stabil. Namun, memberikan komentar melalui fitur chatting di dalam platform video conference tersebut sangat membantu Adit dalam mengatasi gangguan sinyal. Atas saran pembimbing, penggunaan Google Meet jauh lebih baik baginya, karena alasan waktu yang lebih fleksibel dan koneksi yang lebih lancar.

Profesor Myrta dari Universitas Airlangga mengatakan Airlangga Inclusive Learning telah didukung sepenuhnya oleh Universitas untuk memenuhi kebutuhan mahasiswa dengan disabilitas. Unit ini menyediakan layanan, termasuk perlindungan selama masa pandemi Covid-19, baik dalam hal kesehatan fisik dan mental (melalui Health Center), menyediakan layanan dukungan akademik seperti dukungan untuk dosen dan materi pembelajaran, serta penyediaan informasi yang relevan, seperti cara pendampingan mahasiswa sesuai dengan standar protokol kesehatan. 

Selain itu, untuk mempermudah koordinasi, pihak Universitas uga menggunakan media sosial seperti WhatsApp group sebagai mediator antar universitas, mahasiswa disabilitas dan relawan pendamping. Pertemuan melalui video conference juga sedang dipertimbangkan untuk berkomunikasi dengan mahasiswa disabilitas terkait kebutuhan dan masalah yang dihadapi selama pandemi. Masalah yang dirasa masih menjadi kendala adalah akses ke informasi. Karena penyedia informasi masih mengabaikan aspek aksesibilitas. 

Sosialisasi tentang kesadaran untuk memahami kebutuhan mahasiswa disabilitas yang berbeda masih harus dilakukan untuk seluruh civitas akademika, termasuk dosen, tenaga pendidik, , dan mahasiswa. Tanpa pemahaman yang baik, maka pemenuhan hak mahasiswa disabilitas tidak akan maksimal.  

Beberapa kendala yang muncul selama masa pandemi ini adalah:

  • Jadwal antara pendamping dan mahasiswa disabilitas yang sering tidak sesuai. Hal ini diantaranya akibat banyak mahasiswa pendamping yang pulang ke kampung halaman mereka di masa pandemi. Oleh karena, itu pendampingan yang biasa dilakukan secara langsung, dan harus dilakukan dengan bantuan teknologi menjadi lebih sulit. Komunikasi antara mahasiswa disabilitas dan pendamping yang berjauhan sangat dipengaruhi oleh dukungan teknologi dan ketersediaan dukungan materiil untuk mendukung mahasiswa dan pendamping dapat membeli pulsa. 
  • Kekurangan pendamping yang memiliki kemampuan, dalam hal dapat berkomunikasi berjauhan dengan dukungan teknologi.
  • Pandemi ini juga menghentikan proses pelatihan relawan pendamping,
  • Ketidaksesuaian antara harapan pendamping dan mahasiswa disabilitas.

Alies Lintang dari Pusat Studi dan Layanan Disabilitas PSLD UB memberikan gambaran tentang apa saja layanan yang sudah diberikan dan masalah apa saja yang dihadapi oleh mahasiswa disabilitas di Universitas Brawijaya selama masa pandemi ini. 

Di Universitas Brawijaya, penyesuaian pemberian layanan bagi mahasiswa disabilitas telah diatur melalui adanya Surat Edaran yang dikeluarkan oleh Universitas tentang pendampingan secara online dan tata cara pemberian untuk pendampingan bagi mahasiswa dengan jenis disabilitas tertentu. 

PSLD mencatat bahwa selama belajar dari rumah, permintaan pendampingan menurun sekitar 30% dari rata-rata pendampingan per bulan dibandingkan sebelum masa pandemi. Hal ini disebabkan oleh dosen telah mengikuti anjuran untuk memberikan tugas melalui platform e-learning (seperti Google Classroom) dan email. 

Bagi mahasiswa disabilitas, sistem online ini lebih aksesibel bagi mereka dan mendukung mereka untuk dapat belajar secara mandiri. Misal, untuk mahasiswa daksa, mereka tidak lagi membutuhkan pendampingan mobilitas. 

Sebaliknya, pendampingan sangat dibutuhkan oleh mahasiswa Tuli. Oleh karena itu, yang dilakukan oleh PSLD adalah memberikan layanan pendampingan sebagai berikut: 

  • Menerjemahkan bahasa verbal secara langsung ke bahasa isyarat, 
  • Mencatatkan materi (jika materi tidak aksesibel), 
  • Membantu menuliskan tugas tertulis untuk mahasiswa netra, 
  • Editor pada level perbaikan kalimat bagi mahasiswa tuli, 
  • Membantu memahamkan materi bagi mahasiswa disabilitas mental dan gangguan perkembangan, termasuk layanan tutoring. 

Hasil survei evaluasi menunjukkan bebetapa kendala yang muncul selama masa pembelajaran daring ini. Kendala tersebut adalah:

  • Keterbatasan pendamping dengan keterampilan menerjemahkan bahasa isyarat yang baik,
  • Jaringan koneksi internet/sinyal yang kurang baik, sehingga mengganggu proses transfer penerjemahan bahasa isyarat. Keterlambatan yang terjadi berakibat pada pemahaman mahasiswa tuli,
  • Koordinasi dan komunikasi antara mahasiswa disabilitas, pendamping dan dosen yang kurang baik. Misal pendamping tidak dapat menghubungi mahasiswa, dosen terlambat memberikan link materi ke pendamping.
  • Masalah perbedaan jurusan karena sistem acak dari aplikasi penjadwalan pendampingan. Misal, pendamping dari jurusan sosial mendampingi mahasiswa jurusan teknik.

Dalam diskusi Webinar ini diketahui bahwa berbagai aplikasi teknologi memberikan kemudahan yang berbeda bagi masing-masing kelompok disabilitas. Misalnya, tuli menemukan fitur yang disediakan oleh ZOOM sangat mendukung proses belajar dan berkomunikasi. Sementara, bagi non-Tuli, Google Meet sangat baik bagi proses belajar mereka. Google Classroom juga dianggap lebih aksesibel daripada sistem Virtual Learning Management (VLM) yang digunakan oleh Universitas Brawijaya. Hambatan lain yang diungkapkan oleh mahasiswa disabilitas adalah:

  • Materi perkuliahan diberikan dosen dalam format yang tidak aksesibel;
  • Akomodasi yang tidak sesuai kebutuhan mahasiswa disabilitas;
  • Keterampilan bahasa isyarat yang kurang baik dari pendamping;
  • Aplikasi yang tidak semua ramah disabilitas;
  • Masalah teknis: sinyal, dan alat bantu komunikasi yang tidak memadai;

Dalam diskusi Webinar ini disepakati bahwa ada empat hal yang perlu dilakukan oleh universitas untuk dapat mengimplementasikan kebijakan new normal, yaitu: 

  • Membuat panduan perkuliahan yang aksesibel bagi dosen sesuai dengan Peraturan Pemerintah No. 13/2020 tentang Akomodasi yang Layak;
  • Rekomendasi aplikasi yang aksesibel;
  • Pelatihan keterampilan pendampingan untuk perkuliahan daring;
  • Dukungan bantuan ekonomi untuk menjamin mahasiswa mendapatkan akses internet.

Dari apa yang sudah disampaikan oleh para panelis, dapat kita ambil kesimpulan bahwa pembelajaran online ternyata sangat membantu mahasiswa disabilitas dan pentingnya menggunakan teknologi dalam mengakomodasi kebutuhan belajar dari mahasiswa disabilitas. Selanjutnya, dosen memegang peranan penting sebagai penyedia layanan dan diharapkan dapat lebih memahami penerapan teknologi untuk mengakomodasi mahasiswa sesuai dengan prinsip-prinsip aksesibilitas. 

Leave a Reply

%d bloggers like this: